oleh Ir. Asban Basiran, Wulan Sri pamungkas, Rahmat Sudiana
PENDAHULUAN
Masalah yang dicemaskan pada bendungan-bendungan yang telah dibangun di Negara-negara berkembang seperti di Indonesia khususnya adalah masalah sedimentasi pada waduknya. Tingkat sedimentasi tidak sesuai dengan perhitungan dalam perencanaan, bahkan cenderung mendekati 2 (dua) kali lipatnya, sehingga umur manfaat waduk hanya setengahnya.
Usaha-usaha untuk meneliti penyebabnya baik perhitungan perencanaan maupun faktor-faktor lain sebelum pembangunan bendungan maupun setelah beroperasi pernah diadakan symposium di puslitbang pengairan Bandung tahun 1988 untuk mengevaluasi perhitungan perencanaan sedimentasi. Terdapat kaidah atau rumus yang perlu dikoreksi untuk kondisi di Indonesia, yaitu dengan menambah suatu koefisien pada rumus yang biasa di pakai dalam perencanaan perhitungan erosi yang terbawa aliran permukaan pada suatu dataran. Rumus-rumus yang biasa dipakai hanya berdasarkan penyelidikan pada suatu peta tanah yang ukurannya relative tidak begitu luas, kurang cocok untuk diterapkan pada daerah luas.
Faktor-faktor lain yang membawa dampak negatif dalam pembangunan bendungan adalah masalah lahan penduduk yang tanahnya dipergunakan untuk keperluan pembangunan bendungan maupun waduknya. Ganti rugi baik berupa tanah, bangunan, maupun tanaman, tidak menjamin ganti rugi mata pencahariannya, hanya harta miliknya saja yang mendapat penggantian.
Ketidakpastian mata pencaharian mereka yang terkena proyek tersebut mendorong mereka untuk bergerak ke sekeliling lahan sekitarnya dan menjarah hutan yang mengakibatkan rusak atau tidak berfungsinya hutan sebagai pengendali erosi. Sesudah proyek selesai hutan di sekitarnya gundul yang sudah pasti mengakibatkan erosi terbawa masuk ke dalam waduk.
Pemulihan hutan memerlukan waktu bertahun-tahun, selama penghutanan kembali belum berfungsi sebagai pengendali erosi sepenuhnya, erosi berlangsung terus dan menambah jumlah endapan terus menerus sampai dengan hutan berfungsi kembali sebagai pengendali erosi.
Beberapa hal yang harus ditangani dalam pembangunan suatu bendungan besar ialah:
1. Harus disediakan dana guna konservasi hutan di daerah sekitar waduk khususnya dan di daerah catchment area (daerah pengaliran), sehingga erosi bisa dikendalikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penghutanan di daerah kritis dan pembuatan teras-teras pada tanah miring yang berfungsi menahan erosi akibat air hujan.
2. Untuk penduduk yang tanahnya terpakai pembangunan bendungan dan waduk, diusahakan memberi mata pencaharian baru sebagai pengganti mata pencaharian sebelumnya yang umumnya bertani atau berkebun. Lapangan usaha baru sebagai pengganti mata pencaharian yang terdahulu yaitu usaha ikan keramba jaring apung. Keberhasilan jaring apung yang telah diterapkan diwaduk Saguling dengan pola setiap warga yang masih berada disekitar waduk diberi kesempatan mengusahakan satu jaring apung yang permodalannya didapatkan dari koperasi, dan ini hanya diperuntukan bagi masyarakat sekitar waduk tidak boleh bagi perorangan atau usaha dari luar yang sifatnya menyaingi penduduk setempat yang telah kehilangan mata pencahariannya akibat lahan tergenang Waduk Saguling. Ternyata dari usaha keramba jaring apung ini masyarakat memperoleh penghasilan yang lebih besar dari bertani atau berkebun pada lahan yang telah tergenang sebelumnya. Hal serupa diterapkan pada waduk Cirata yang pembangunannya setelah Waduk Saguling selesai. Dengan upaya mengubah mata pencaharian, dari bertani atau berkebun menjadi budidaya ikan masyarakat tidak lagi merusak atau menjarah hutan lindung sekitar waduk, karena mata pencaharian pengganti sudah didapat. Pola ini hendaknya diterapkan pada setiap pembangunan waduk besar, guna menekan laju erosi setelah waduk mulai beroperasi. Pendangkalan waduk karena erosi harus secara dini dicegah, karena mengingat manfaat waduk sangat menunjang bidang ekonomi, sektor pertanian yang menjadi sasaran pembangunan untuk menciptakan swasembada pangan dan peningkatan hasil industri dari penyediaan tenaga listrik yang dibangkitkan demi terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Berkurangnya usia manfaat waduk berarti juga kerugian besar dari investasi pembangunan yang sebagian besar dananya diperoleh dari pinjaman luar negeri. Langkah -langkah yang diambil untuk menekan laju erosi harus terus menerus di usahakan. Pemantauan sedimen yang telah terjadi di waduk-waduk perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat erosi dan cara-cara mengatasinya. Pendangkalan waduk yang terlalu cepat mengurangi andalan penyediaan air untuk keperluan pengairan maupun tenaga listrik yang bisa dibangkitkan.
KRITERIA USIA MANFAAT WADUK
A. PENGERTIAN USIA/UMUR WADUK
Batas usia umur waduk ditentukan oleh habisnya manfaat waduk untuk bisa diatur penggunaannya bagi kepentingan pengairan atau pembangkit tenaga listrik, dimana air keluaran melalui intake (beranda pengambilan).
Didalam perencanaan pembuatan waduk diadakan pembagian ruang dalam volume waduknya, yaitu bagian volume yang airnya dapat atau tidak dapat diatur melaui suatu pintu pengatur air. Volume diatas bidang horizontal melaui intake merupakan volume Life Storage, sedangkan volume di bawahnya disebut Dead Storage (Kantong Lumpur).
Dead Storage inilah yang menentukan perhitungan umur suatu waduk. Dead Storage merupakan ruangan yang khusus disediakan untuk menampung sedimen yang terbawa aliran sungai yang bermuara di waduk maupun yang terbawa air hujan sekitar waduk.
Jika tingkat sedimentasi sudah mengisi semua bagian dead storage maka pada saat itulah endapan atau sedimentasi mulai menginjak daerah Life Storage, endapan perlahan akan sampai pada tingkatan terganggunya fungsi intake dalam pengaturan air keluar waduk. Jika fungsi intake sudah terganggu oleh sedimen, pengeluaran air tidak bisa diatur maka waduk tidak bisa berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik.
Tahap-tahap pengendapan pada saat pengisian waduk (impounding) maupun saat pengoperasian waduk :
- Air mengisi bagian yang terendah dari waduk, pengendapan terjadi pada saat kecepatan air mendekati nol. jadi pada saat pertama pengisian waduk praktis endapan berada pada daerah dead storage (kantong Lumpur).
- Saat daerah dead storage sudah mulai penuh air, endapan yang terbawa aliran mulai mengendap di muara sungai yang praktis kecepatan airnya mendekati nol.
- Tahap pengisian sampai air penuh (tinggi muka air / ketinggian ambang pelimpah /spillway), endapan berada pada daerah life storage dimana sungai atau anak sungai bermuara.
- Pada tahap operasi TMA ( Tinggi Muka Air ) waduk mulai surut, endapan yang telah terjadi di daerah life storage tergerus aliran sungai terbawa ke daerah lebih rendah. Bila operasi waduk misalnya pada musim kering di bawah normal, sehingga TMA terendah sudah berada di bidang antara life storage dan dead storage maka endapan yang terjadi sebelumnya di life storage terkikis aliran sungai masuk ke daerah dead storage.
Begitu keadaan endapan sepanjang tahun berulang sampai berakhirnya endapan menutup intake yang dikatakan tersebut diatas sebagai saat berakhirnya umur manfaat waduk untuk keperluan pengairan / pembangkit tenaga listrik.
Pemantauan endapan dengan pemetaan Survey Bathimetri pada saat TMA tinggi lebih mendapatkan daerah cakupan luas dari pada saat pelaksanaan pada TMA rendah. Periode ulang pemetaan Bathimetri secara teratur (4-5 setahun sekali) mempermudah perhitungan rata-rata jumlah endapan yang terjadi. Jika periode 4-5 tahun sekali, kurang memberikan hasil yang baik atau teliti, periode ulang tersebut bisa di perpendek 2-4 tahun sekali terutama pada waduk yang tingkat pendangkalannya relatif cukup tinggi.
PERHITUNGAN USIA UMUR WADUK
Usia atau Umur waduk = waktu yang diperlukan endapan mengisi semua volume kantong Lumpur (Dead Storage) sampai saat intake tertutup endapan.
Endapan yang terjadi pada suatu waduk dalam waktu tertentu = volume endapan butiran dari tanah tererosi oleh air pada daerah pengaliran (catchment area) yang masuk ke waduk tersebut dikurangi volume endapan butiran yang keluar dari waduk pada jangka waktu tertentu.
Pada waduk cascade seperti halnya Saguling, Cirata, Ir. H. Djuanda perhitungan sediment terjadi di masing – masing waduk yang berada pada aliran sungai citarum yang sama adalah sebagai berikut :
1. Yang mengendap di waduk Saguling pada jangka waktu tersebut = volume endapan butiran tanah yang tererosi air pada seluas catchment area-nya dikurangi volume endapan butiran tanah yang keluar dari waduk Saguling dalam jangka waktu yang sama.
2. Yang mengendap di waduk Cirata dalam waktu tertentu = volume endapan butiran tanah yang keluar dari waduk Saguling di tambah volume endapan butiran tanah yang tererosi air dari catchment area waduk Cirata dikurangi volume endapan butiran tanah yang keluar dari waduk Cirata dalam waktu yang sama.
3. Yang mengendap di waduk Ir. H. Djuanda pada jangka waktu tertentu = volume endapan butiran tanah yang keluar dari waduk Cirata ditambah volume endapan butiran tanah yang tererosi air dari catchment area Ir. H. Djuanda dikurangi volume endapan butiran tanah yang keluar dari waduk Ir. H. Djuanda dalam waktu yang sama.
Sisa volume dead storage tahun 1986 didapatkan dari hasil perhitungan regresi kwadratik dari peta bathimetri yang dilaksanakan akhir tahun 1986.
Dead storage di waduk Ir. H. Djuanda adalah volume waduk di bawah elevasi +75.00 m.dpl
PERHITUNGAN HARAPAN USIA MANFAAT WADUK IR. H. DJUANDA SETELAH DUA WADUK DI ATASNYA CIRATA DAN SAGULING BEROPERASI
Dengan mulainya waduk cirata diisi air berarti pengendapan Lumpur (sedimantasi) dari sungai Citarum ke arah waduk Ir. H. Djuanda jauh berkurang walaupun sebelumnya telah berkurang dengan mulai berfungsinya waduk Saguling di atas waduk Cirata. Berpangkal pada saat waduk Cirata mulai terisi, dilakukan evaluasi jumlah sedimen yang telah mengendap di waduk Ir.H.Djuanda. Usaha evaluasi ini dengan membuat peta kontur di bawah elevasi +107 m.dpl (ketinggian normal Waduk Ir.H.Djuanda = Tinggi ambang pelimpah open spillway)
Pelaksanaan pembuatan peta kontur akhir tahun 1986 oleh ITB (Institut Teknologi Bandung), dimana bagian yang bisa dilalui kapal pembawa echo sounder diukur kedalamannya menurut sistem potongan melintang waduk pada jarak interval 250 m, bagian yang sudah ada deposit sedimen tentu saja tidak bisa dengan echo sounder yakni bagian muara sungai Citarum dan muara – muara sungai kecil pada waduk Ir. H. Djuanda. Pada daerah ini dilaksanakan dengan pengukuran optis yang disebut pengukuran terestris.
Pembuatan peta kontur dasar air dengan echo sounder disebut bathimetri. Sedangkan pengukuran kedalaman air dengan gema (echo sounder) disebut dalam istilah Indonesia pemeruman.
Dari peta contour ( = peta ketinggian sama ) dari seluruh permukaan tanah dasaran waduk diketahui luas maupun isi waduk pada setiap ketinggian, yaitu dengan menggunakan poolplanimeter luas biasa hitungan, demikian juga dari dua luas bidang berturutan dan jarak antaranya (=tingginya) yang diketahui isi bisa dihitung dan di buat tabel.
Hasil tabulated peta contour dibawah air mempermudah pembacaan hubungan antara ketinggian luas-volume dari waduk Ir. H. Djuanda sebelum waduk Cirata mulai tergenang.
Untuk pembuatan tabel cukup pada beda ketinggian 5 meter dan hasilnya seperti tergambar pada halaman berikut.
Dari Contour ITB. yang perlu dikoreksi yaitu luas maupun volume dibawah + 40.00 m yang kelihatannya janggal sehingga kita proses data dari + 40.00 m s.d +107.00 m ( banyaknya data n = 15), sedang dibawah +40.00 m dapat dihitung sampai luas maupun volume mendekati 0.
Dari persamaan persamaan tersebut diatas Luas maupun Volume dapat dicari. berikut disajikan penjabaran Luas dan Volume yang menghasilkan persamaan :
– Luas Waduk Ir.H.Juanda
– Volume Waduk Ir.H.Juanda
Penjabaran Luas
3 persamaan dengan 3 bilangan yang dicari akan didapat :
a = – 13244.2
b = 257.97
c = 5.54
sehingga persamaan menjadi Y = – 13244.2 + 257.97 x + 5.54
Jadi persamaan luas waduk Ir.H.Juanda :
adapun penjabaran volume disajikan dalam halaman berikut
3 persamaan dengan 3 bilangan yang dicari akan didapat :
a = 742.6302521
b = – 38.74437295
c = 0.518283824
sehingga persamaan menjadi : Y = 743 – 38,8x + 0,52
Jadi persamaan isi waduk Ir. H. Djuanda :
Catatan :
Volume / isi waduk Ir. H. Djuanda initial menurut perhitungan Consultant Coyene Et Bellier (COB) Paris Perancis, 1964
Jelas kelihatan, bahwa selama beroperasinya waduk Ir. H. Djuanda telah mengalami perubahan kapasitas isi waduk.
Perlu dimaklumi pengendapan Lumpur (sedimentasi ) terbesar pada musim hujan, dimana TMA mengarah tinggi sehingga deposit pada muara Citarum waduk Ir. H. Djuanda relatif besar (pada kecepatan aliran V mendekati 0). Sebaliknya pada musim kemarau deposit tergerus aliran air ke arah hilir yang TMA nya mengarah rendah, hal ini terjadi bertahun – tahun selama waduk Ir. H. Djuanda masih tunggal, belum ada waduk – waduk di hulunya.
Setelah adanya waduk Cirata, keadaan agak berlainan mengingat adanya sebagian besar Lumpur telah mengendap terlebih dulu pada waduk Saguling dan Cirata.
Dari hasil pengamatan Lumpur yang terbawa aliran air sungai Citarum masuk waduk Ir. H. Djuanda (pada pengambilan contoh pada air di Cipetir) dan keluar waduk Ir. H. Djuanda (pada pengambilan contoh air di Tailrace) setiap 2 minggu sekali selama tahun 1982, 1984, 1985 menunjukan rata – rata 6% jumlah kandungan Lumpur keluar waduk dibandingkan jumlah air masuk waduk.
Selama 24tahun (1963-1987) sebelum ada waduk Saguling dan Cirata kandungan Lumpur pada waduk Ir. H. Djuanda :
Volume air 1963 (initial) = 2.970.
Volume 1987 (bathymetris akhir 1986) = 2.556.
Volume Lumpur selama 24tahun = 414.
Sediment pertahun 1/24 x 414. = 17,25
Adanya bottom outlet yang dimungkinkan deposit endapan di sekitar intakenya terkuras keluar waduk sehingga angka 6% dianggap terlalu kecil untuk lebih amannya pada waduk Saguling, Cirata dan Ir. H. Djuanda sama yaitu diambil 10% kandungan Lumpur keluar waduk dibanding air yang masuk waduk.
Lumpur yang terbawa inflow = 100% / 90% x 17,25. / tahun = 19,166.
/ tahun. Inflow waduk Ir. H. Djuanda sebelum ada waduk saguling dan Cirata = 5755.
/ tahun. Banyaknya Lumpur yang terkandung dalam aliran sungai Citarum = 19,166.
/ tahun x 100% = 0.33%
inflow waduk Saguling : 2563. / tahun
inflow waduk Cirata : 2543. / tahun
inflow waduk Ir.H.Djuanda : 649. / tahun
maka sediment yang mengendap di waduk :
saguling sendiri : (0.33 % x 2563./tahun )
dari saguling masuk cirata : 10 % (0.33 % x 2563./tahun ).I
cirata sendiri : (0.33 % x 2543./tahun )……………………………….II
Dari Cirata masuk Ir.H.Djuanda : 10 % ( I + II ).
Ir.H.Djuanda sendiri : (0.33 % x 649./tahun )…………………..III
jadi yang mengendap pada waduk Ir.H.Djunda :
Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa harapan usia manfaat Waduk Ir.H.Djuanda adalah kurang lebih 277,5 tahun sejak Tahun 1987. Dengan kata lain harapan usia manfaatnya sekitar 250,5 tahun lagi sejak Tahun 2014. Mudah-mudahan harapan usia manfaat waduk tersebut dapat tercapai sebagai warisan bagi anak cucu kita kelak. Studi lebih lanjut dan perhitungan ulang diperlukan untuk menyempurnakan penelitian ini menggunakan data hasil pengukuran dan penelitian terbaru.